MediaRaya.Org – Kelompok Peternak Sapi Pali-Pali Jaya Ponjong, Gunungkidul mendapatkan penyuluhan bahaya penyakit ternak zoonosis yang dapat ditularkan hewan ke manusia, di Rumah Makan (RM) Gubug Ndeso di Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta pada Selasa (23/7/2024).
Pada penyuluhan yang dilaksanakan Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bekerja sama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunungkidul tersebut juga dilaksanakan vaksinasi hewan ternak sapi.
Selain vaksinasi dan vitamin, Polda DIY dalam kegiatan silaturahmi ini turut memberikan bantuan peralatan peternakan berupa alat semprot, sepatu boot dan sarung tangan.
Bantuan diserahterimakan oleh Kasubdit 2 Ditintelkam Polda DIY Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Dwi Prasetio Nugroho kepada Kepala Dukuh dan Ketua Kelompok Peternak Sapi Pali-Pali Jaya Ponjong, Tumiyo.
Petani dan peternak yang tergabung di dalam Paguyuban Pali-Pali Jaya Ponjong berkomitmen menjaga kesehatan hewan ternak dan warga untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam rangka Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas) di Gunungkidul.
Tekad itu dituangkan dalam deklarasi untuk memelihara kesehatan hewan ternak dan warga demi mewujudkan kamtibmas di Gunungkidul yang dibacakan Tumiyo dan diikuti seluruh peserta sosialisasi.
Kelompok Peternak Sapi Pali-Pali Jaya Ponjong berfokus pada kesehatan hewan ternak sapi dan warga. Salah satunya adalah menyosialisasikan bahaya tradisi brandu/purak kepada masyarakat, sebab berisiko menularkan antraks dari sapi ke manusia melalui daging yang dimasak/direbus lalu dimakan.
PS Panit 2 Subdit Ekonomi Ditintelkam Polda DIY Inspektur Polisi Satu (Iptu) Gatot Wahyu Wijaya Saputra menuturkan, melalui sosialisasi ini diharapkan peternak maupun warga Gunungkidul bisa mengetahui tentang bahaya tradisi brandu/purak yang masih sering dilakukan.
Tradisi brandu/purak menjadi penyebab utama penularan salah satu penyakit zoonosis yaitu antraks dari sapi kepada manusia.
“Sosialisasi harus terus menerus dilakukan sampai tidak ada lagi warga yang mengonsumsi daging ternak mati atau sakit yang mengandung bakteri antraks,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (25 Juli 2024).
Selama ini, Polda DIY berkoordinasi dengan instansi terkait/Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun para peternak mengawasi lalu lintas keluar masuknya hewan ternak di DIY khususnya di Gunungkidul.
Terutama di Kapanewon Ponjong sebagai pintu masuk yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Eromoko, Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng). “Tujuannya untuk memantau kesehatan bibit hewan ternak yang masuk DIY,” ucapnya.
Sosialisasi menghadirkan narasumber Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Karangmojo DPKH Gunungkidul yang diwakili oleh Medik Veteriner UPT Puskeswan Karangmojo, drh. Retno Firdaus Srifiyati dan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Gunungkidul, Sidig Hery Sukoco.
Dalam sosialisasinya, Retno menjelaskan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) pada ternak penting untuk disampaikan kepada peternak. UPT Puskeswan Karangmojo juga telah melakukan vaksinasi yaitu Vaksin Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Vitamin B-Plex, Anti Nyeri dan Demam dan Obat Cacing di kandang milik kelompok peternak sapi di Jaten Ponjong.
Sedangkan untuk Vaksin Antraks diberikan setiap enam bulan sekali. “Hanya di daerah yang menjadi zona merah antraks,” kata dia.
Sementara itu, Sidig menyampaikan tradisi brandu/purak merupakan kebiasaan masyarakat Gunungkidul yang menyembelih daging hewan ternak yang sudah mati atau kelihatan sakit, kemudian membagi-bagikannya ke tetangga untuk dikonsumsi, supaya tidak sia-sia dagingnya.
Tradisi brandu/purak merupakan bentuk simpati masyarakat terhadap tetangga yang ternaknya mati. Sudah menjadi budaya, tabungan petani di desa adalah hewan ternak sehingga kematian ternak dianggap musibah. Jadi brandu/purak merupakan solidaritas membantu meringankan beban pemilik ternak yang terkena musibah.
Daging dijual per paket (biasanya Rp45-50 ribu/paket) dan uang yang terkumpul diberikan ke pemilik ternak yang kesusahan. Tradisi ini sebenarnya baik karena bertujuan membantu warga yang kehilangan ternaknya agar tidak mengalami kerugian besar.
“Namun, tradisi brandu/purak berisiko membahayakan kesehatan warga karena hewan ternak yang sakit atau mati lalu disembelih itu mengandung bakteri bacillus anthracis sehingga orang yang mengonsumsinya pasti tertular antraks,” ungkapnya.
Dijelaskan Sidig, spora yang dihasilkan oleh bakteri antraks dapat hidup selama 40-80 tahun di dalam tanah dan mampu bertahan dalam suhu berapapun sehingga tetap berbahaya dikonsumsi manusia walaupun telah dimasak/direbus.
Sidig menunjukkan data, di Gunungkidul setiap tahunnya selalu ditemukan kasus antraks pada manusia, yang didominasi penyakit antraks dengan gejala lesi (kerusakan) kulit.
More Stories
Art Love U Fest 2024: Eksplorasi Bahasa Cinta 43 Perupa Indonesia
Wamen ESDM Tegaskan Pentingnya Modernisasi Alat Pemantauan Gunung Api
Fasilitas Face Recognition Sudah Hadir di 20 Stasiun Kereta Api