MediaRaya.Org – Para peneliti Pusat Riset Kewilayahan (PRW), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset terkait interaksi antara human dan non-human melalui platform besutannya yaitu More-than-Human Lab (MetHuman).
Kepala PRW BRIN Fadjar Ibnu Thufail mengatakan bahwa tahun ini pihaknya mencoba untuk melakukan penelitian tentang beberapa spesies seperti kucing, kuda, buaya, dan juga beberapa spesies tanaman yang diteliti oleh peneliti-peneliti tamu.
“Nah, dalam webinar kali ini akan dibahas terkait dengan pengembangan platform studi tentang Turki, khususnya kucing yang ada di Istanbul,” ungkap Fadjar saat membuka webinar “Catizens and Citizens, Articulation of Cat Rights and Cat – Human Relations in Istanbul”, Rabu (7/8/2024).
Salah satu bagian dari riset program kajian Turki yang ada di PRW ini juga untuk melihat lebih dari keterikatan manusia. Khususnya yang ada di Turki terkait kucing yang ada di Istanbul.
Hadza Min Fadhli Robby, Dosen Departemen Hubungan Internasional UII Yogyakarta menyampaikan bahasan tentang kucing dalam budaya dan sejarah Turki.
“Jika kita ingin memahami kucing dari sudut pandang budaya dan sejarah Turki, sungguh menarik. Karena selalu ada cerita yang berhubungan dengan kucing dan cerita rakyat Turki. Juga dalam keseharian banyak orang, banyak tradisi verbal yang menceritakan tentang kucing,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa kucing dianggap memiliki pengaruh signifikan terhadap masyarakat Turki sejak Era Ottoman. Bahkan kucing dianggap sebagai pahlawan bagi masyarakat Turki sebagai pengawas kesehatan masyarakat Turki. Karena ia membantu dalam melakukan pemusnahan tikus. Hal itulah yang membuat kedudukan kucing di Turki menjadi sangat Istimewa.
Hadza lanjut menjelaskan, seiring dengan berjalannya waktu, kucing tidak lagi dianggap sebagai hewan penting seperti pada zaman Kesultanan Ottoman.
Di mana pada era awal Republik, kucing dan hewan jalanan lainnya dianggap sebagai masalah potensial bagi kesehatan masyarakat. Hal ini terjadi seiring dengan adanya tren modernisasi sehingga memunculkan tren untuk mencintai kucing dari jauh.
Ia lalu mengungkap kerangka konseptual yang ia gunakan. Mengkutip dari makalah Robert Garner yang mengatakan bahwa selalu ada potensi besar bagi aktivis hak-hak hewan untuk memperluas definisi penderitaan hewan.
Jadi mengapa politisasi hak-hak hewan terjadi? Hal ini untuk memastikan bahwa manusia tidak melakukan hal-hal yang membahayakan hewan. Ini juga untuk memastikan hewan dapat hidup bermartabat dan tidak boleh dirugikan oleh perlakuan manusia apapun.
Hadza lanjut menjelaskan awal mulanya gagasan pembangunan antroposentris yang sangat menekankan pada keagenan manusia dan memiliki banyak hal serta mengabaikan kesejahteraan spesies lain.
Jadi ketika isu ini diperkenalkan di dunia barat, masyarakat menyadari bahwa melindungi hak-hak hewan sama pentingnya dengan melindungi hak asasi manusia. Karena kita hidup di biosfer yang sama. Itulah sebabnya isu hak-hak hewan memasuki perdebatan politik dan definisinya terus berkembang.
Kebangkitan hak-hak hewan di Turki berkaitan dengan Eropanisasi Turki. Karena Turki bercita-cita menjadi bagian dari Uni Eropa, maka Turki banyak mengadopsi standar Uni Eropa dalam banyak aspek.
Termasuk mengenai isu hak-hak hewan dan kesejahteraan hewan. Legalisasi kesejahteraan hewan dan formalisasi perawatan hewan berujung pada politisasi perawatan hewan dari budaya perawatan menjadi politik perawatan.
“Jadi ini adalah salah satu argumen inti saya untuk penelitian ini. Bahwa Turki telah memiliki budaya kepedulian sebagai sebuah norma di antara masyarakat Turki dan tertanam dalam budaya Turki. Ketika perubahan Eropa terjadi, budaya kepedulian ini berkembang menjadi politik kepedulian,” imbuhnya.
Seiring dengan berkembangnya politik kepedulian, hal ini menjadi jauh lebih ideologis. Banyak aktivis lingkungan hidup, politisi sayap kiri di Turki yang sangat gigih dalam mengadvokasi hak-hak hewan.
Ini memastikan setiap hewan dilindungi dan bisa mendapatkan perlakuan yang sama. Hak-hak hewan di Turki sendiri dilindungi oleh UU Perlindungan Hewan No. 5199 sebagai UU dasar perlindungan hak-hak hewan di Republik.
Namun dalam amandemen terakhir UU tersebut di tahun 2024, memunculkan kontroversi karena berbicara tentang pembunuhan (euthanisasi) pada anjing liar. Hadza menjelaskan bahwa dalam peraturan tersebut disebutkan anjing, namun kucing tidak disebutkan sama sekali.
Karena kucing dianggap kurang agresif dan lebih ramah terhadap manusia. Mereka lebih diistimewakan dan punya lebih banyak hak dalam aspek ini.
Lalu mengapa catizens untuk kasus kucing di Istanbul? Jadi, selain perdebatan politik, ia menguraikan melalui contoh kasus interaksi sehari-hari catizens dan warga negara di Istanbul.
Interaksi menarik terjadi yang menunjukkan bagaimana kucing di Istanbul beradab sebagai manusia. Karena interaksi dengan kucing hanya dianggap sebagai interaksi antar manusia saja. Warga negara tidak ingin mengganggu kucing yang hanya sedang duduk bahkan berkelahi.
Jadi kucing selalu dianggap sebagai sesuatu yang istimewa bagi orang-orang yang tidak ingin mengganggu kucing. Karena ia menganggap kucing memiliki hak tersendiri. (Sumber brin.go.id, ilustrasi pixabay.com/@susannp4)
More Stories
BRIN dan LKPP Dorong Pemanfaatan Produk Riset dan Inovasi untuk Pengadaan Pemerintah
Kupas Revolusi AI, Infomedia Sukses Gelar INFINITE Conference 2024
Art Love U Fest 2024: Eksplorasi Bahasa Cinta 43 Perupa Indonesia